Gemah ripah loh jinawi…
Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di benak saya sejak kecil, di bangku sekolah dasar lebih tepatnya. Kata yang berarti “subur makmur” tersebut seolah menjadi sebuah dongeng indah tentang makmurnya negeri ini. Tanpa sadar, kata-kata itu telah menjadi pembakar semangat sekaligus memberi rasa tenang bagi anak seusia saya kala itu. Cita-cita demi cita-cita terlontar dari mulut kawan-kawan saya sembari menyajikan lukisan masa depan di sorot matanya. Insinyur, pilot, dokter, penjelajah dunia, bahkan yang bercita-cita menjadi presiden pun ada. Kami yang masih belia, tak pernah mengerti apa arti kondisi ekonomi keluarga. Tak paham bahwa kata-kata itu bisa menjadi boomerang yang menusuk ulu hati ketika melihat realita di saat kami dewasa. Yang kami tahu hanyalah: negeri kami kaya!
Mungkin kala itu memang kami dimanjakan oleh alam. Kenapa bisa begitu? Ya, kami sangat akrab dengan alam. Walaupun uang jajan kami tak sampai seperdelapan uang jajan anak SD jaman sekarang, alam seolah menjadi ibu yang selalu menyuapi anaknya. Pohon jambu, kenitu, rambutan, kesambi, salam, asam dan berbagai buah lainnya, tumbuh berserakan di pinggir jalan yang bisa kami ambil buahnya sesuka hati. Jangan heran jika semasa saya masih SD banyak anak berseragam putih merah berada di atas batang-batang pohon itu. Kami juga tak perlu mengeluarkan uang untuk membeli mainan. Karena kami memiliki permainan, yang sekarang disebut permainan tradisional, yang mungkin tak cukup untuk dimainkan semuanya di kala istirahat sekolah. Tak jarang pula kami membuat mainan sendiri dari batang kayu, pelepah pisang, atau apapun juga sesuai keinginan kami. Kami anak petani yang tak pernah takut untuk bermimpi!
Waktu pun berderap kencang terlecut detik yang terkesan terburu-buru. Tibalah masa remaja, masa ketika darah bisa mendidih sewaktu-waktu. Masa ketika mulai banyak tuntutan ini itu memberondong. Saat itu pula saya dan kawan-kawan sering berbagi cerita, kami mulai mengerti betapa terik cemeti sang surya melecuti punggung orang tua kami. Tak segan-segan kami ikut ke sawah, mencari rumput untuk hewan ternak kami, dan belajar tentang kehidupan. Garis hidup para petani.
Booooom! Seolah bom nuklir jatuh meluluh-lantakkan desa kami. Panen melimpah, ya selalu melimpah. Namun, seiringan pula banjir air mata menggenangi desa kami. Harga hasil panen tak seimbang dengan cucuran keringat, harga seolah menjorok ke perut bumi. Pupuk langka dan harganya pun selangit. Banyak istri menangis ditinggalkan suaminya yang hilang entah kemana. Banyak pula yang menjinjing tas untuk merantau mempertaruhkan jiwa, ke negeri jiran. Banyak anak menangis menahan lapar. Panen demi panen semakin mencekik. Impian demi impian gugur terkubur.
Tembakau, yang juga seringkali disebut “daun emas”, merupakan salah satu tanaman andalan sebagai pemangku mimpi-mimpi kami. Pernah suatu ketika tembakau benar-benar menjadi tambang emas kami. Hidup para petani tercukupi. Anak-anak pun bisa membaca buku yang selama itu hanya bisa dibeli anak kota . Namun, masa itu terhitung hanya 3 musim. Musim-musim selanjutnya adalah pil pahit yang harus kami telan. Dengan harapan menutupi kerugian, daun emas pun terus ditanam. Getir. Itulah kenyataan yang dihadapi para petani. Bukannya menutupi kerugian, yang terjadi adalah seolah mereka menggali lubang yang dalam untuk bunuh diri. Hutang pun tak terbayar. Bunga pun tersenyum manis bagi para rentenir. Dan yang tak disadari, adanya lokomotif besar sedang melaju di garis hidup para petani yang bertuliskan sesuatu di sisi gerbongnya: MONOPOLI.
Monopoli, mengingatkan kami ketika seorang kawan SD, yang merupakan siswa pindahan dari kota, membawa permainan yang tersebut. Kami, yang bahkan tak paham apa arti hipotek, senang-senang saja memainkan permainan sederhana yang menurut kami hanya membeli rumah dan hotel tersebut. Monopoli, Sebuah kata yang menjadi mimpi buruk bagi kami di hari-hari kehancuran itu. Penguasaan para pemodal besar terhadap pasar, benar-benar mencekik kami. Pernah satu kesempatan kami mencoba mengadu ke pemerintah, tak ada yang kami dapat selain janji-janji. Entah ada apa di balik meja kerja.
Kini, lokomotif itu benar-benar menguasai semua jalan hidup para petani. Tak hanya daun emas, bahkan bulir-bulir padi, sayur mayur, palawija pun di kuasai. Hidup dalam kematian, Itulah hidup petani saat ini. Perbudakankah ini?
Hanya beberapa mimpi dari kami yang masih bertahan. Kawan-kawan yang bersumpah akan kembali membawa kekuatan untuk melawan. Tanpa kekuatan sepadan, semuanya akan terlindas oleh lokomotif tersebut. Itulah yang tersisa. Jika tidak terwujud, biarlah kami memakan hasil panen kami sendiri, atau mungkin, biarlah sawah-sawah mengering tanpa tanaman menunggu kepunahan bangsa ini.
Jember, 17 Juli 2011
lagukan resahmu,,,,
BalasHapusmasih belum mampu melagukannya mas, hehe... masih sebatas tulisan ringan dan puisi...
BalasHapus