Kamis, 16 Februari 2012

Cerpen: Bangau di Sela-sela Awan


biarlah semua berlalu dengan pena sang waktu
tautan-tautan takdir, bukan hanya kau dan aku
ribuan goresan di pelipis kenangan
isyaratkan kita akan senyuman
seperti bangau yang terbang di sela-sela awan
kepakkan rindu sampai tujuan

“Damar!” pekikmu di siang itu.

Kulihat dirimu melambaikan tangan memberi pertanda untuk meyakinkan bahwa itu adalah benar-benar dirimu, perempuan yang sedang kutunggu. Aku pun membalas balik melambai ke arahmu dengan bonus seutas senyum termanis yang mungkin pernah kupunya. Kau tak berubah. Langkahmu lugas namun tetap anggun dan menggetarkan hati saat seperti dulu. Aku pun bergegas berdiri dari bangku tunggu di stasiun kotaku dan menghampirimu.

“Hei, apa kabar?!” pukulan kecil mendarat di lenganku.

Aku merasa kikuk dan terhipnotis oleh kedatanganmu. Masih sulit kupercaya bahwa kau akan kembali, walau sejenak, ke kota ini hanya untuk menemuiku. Tiga tahun yang lalu, saat kau meninggalkan kota ini setelah menyelesaikan kuliahmu, kau terbang ke tanah Inggris untuk melanjutkan kuliahmu. Dan saat ini, seolah kejatuhan bulan, aku melihatmu berdiri di depanku. Utuh dengan pesonamu.

“Bbb..baik,” jawabku sedikit gugup, “kamu?”

Kau tertawa lepas, renyah.

“Kenapa tertawa?” tanyaku sedikit bingung bercampur heran.

“Sejak kapan kamu jadi gagap?!” dengan nada sedikit mengejek kau menggodaku.

“Hehe, maaf. Aku gugup karena ada bidadari di depanku,” timpalku salah tingkah sambil sedikit nyengir.

“preeettt! sekarang jago nggombal ya,” tawamu semakin menjadi, dan salah tingkahku pun semakin menjelma.

Seiring obrolan ringan, tak terasa langkah kita sudah sampai di tempat parkir. Kuberikan helm berwarna biru muda yang sengaja kupinjam dari adik sepupuku. Biru muda. Warna langit. Ya, itu warna kesukaanmu. Kau selalu menguasai dunia dengan warna itu.

“Wow, kamu masih ingat warna kesukaanku.”

“Haha, tak ada yang terlewat lah semua hal tentang dirimu. Semuanya ada di hati.”

“Ah, bisa aja dirimu. Bilang aja kamu mau nggombal lagi, hehe. Wajahmu memerah tuh,” lagi-lagi kau menggodaku.

Wajahku terasa menghangat. Seolah darah memembanjiri setiap jengkal wajahku. ah, mungkin rindu lah yang membakar raut wajahku.

“Kita kemana nih? Langsung ke pantai?” tanyaku untuk mengalihkan godaanmu.

“Ok. Aku sangat merindukan tempat itu,” jawabmu antusias.

***

Kustarter motor tua kesayanganku sambil berdoa dalam hati semoga tidak ngadat seperti biasanya. Ya, aku tak ingin motor keluaran tahun 70 ini mengacaukan hari bahagiaku. Bahkan, sehari sebelum kedatanganmu, kuservis serta kuganti olinya supaya mesinnya prima untuk perjalanan hari ini. Jrengggg, sekali starter pun ternyata langsung nyala. Dan kita pun meluncur menuju pantai.

Selama perjalanan, sesekali aku melirik ke kaca spion kiri. Ya, aku memang sengaja. Spion kanan untuk jalan, spion kiri untuk dirimu. Alamak, sedap sekali  waktuku kali ini. Kau terlihat gembira. Dengan senyummu, kau mengamati kota sudah yang lama kau tinggalkan ini.

“Ternyata kota ini banyak mengalami perubahan ya,” kau berbisik mendekat ke telingaku.

“Perubahan? Apa yang berubah?” tanyaku sambil tetap awas mengemudikan motorku.

“Banyak pepohonan hilang di tepi jalan. Hawanya jadi agak gerah,” jawabmu sambil mengamati sisi jalan.

“Oh itu… iya memang,” aku tercekat tak bisa memberi komentar lebih lanjut.

Memang beberapa waktu yang lalu banyak pohon yang hilang di tepi jalan. Menurut kabar yang kudengar, kebijakan tersebut diambil demi keselamatan pengguna jalan. Lucunya, bukan hanya dahan yang menjulur ke arah badan jalan, namun pohon secara keseluruhan ditebang dan dicerabut akar-akarnya dari tanah. Semua pohon jadi sasaran. Bukan hanya pohon tua yang rentan patah yang di tebang, tapi hampir setiap pohon, termasuk yang masih muda, sedikit demi sedikit di tebang setiap hari. Ada juga yang bilang ditebang untuk pelebaran jalan. Anehnya, lagi-lagi, pohon-pohon yang ditebang tidak digantikan dengan pohon muda untuk regenerasi. Bukankah itu sama saja dengan mereka yang melakukan penggundulan hutan? Tanyaku dalam hati. Ah, mungkin ada beberapa pihak yang ingin dapurnya tetap berasap walau dengan cara salah.

***

Perjalanan kita pun mencapai setengah perjalanan dari total jarak menuju pantai. Sesekali aku bernyanyi lagu-lagu ceria dengan suaraku yang cukup sumbang selama perjalanan. Dan cubitan kecilmu mendarat di pinggangku.

“Ssttttt, jangan berisik, malu dilihat orang,”  kulirik spion kiriku. Kau tersenyum. Suara sumbangku pun menguap berganti dengan senyuman. Entah kenapa, hampir setengah jam aku tersenyum namun tak terasa capai di pipiku.

Perjalanan kita pun semakin dekat. Areal persawahan di sisi kanan dan kiri jalan menghijaukan pandangan kita. Pemandangan yang sejuk berpayungkan biru langit yang cerah. Sejuk, seperti dirimu. Semoga saja segar nan hijaunya sawah-sawah ini tetap terjaga dan tidak terlahap rakusnya pembangunan hingga nanti. Oh, rakusnya penghancuran lebih tepatnya.

“Stop, stop…,” pintamu tiba-tiba. Aku pun menepikan motorku dan berhenti.

“Ada apa?” tanyaku keheranan.

“Udah, lihat aja apa yang akan kulakukan,” kau tersenyum ceria sembari membuka tas punggungmu.

“Taaraaaaa,” kau menunjuk sebuah kamera hitam dengan lensa sebesar lengan.

“Ini salah satu tempat yang aku suka selain pantai yang kita tuju,” ujarmu sembari melakukan beberapa pengaturan di kamera itu dan mulai membidik. “beruntung sekali hari ini begitu cerah.”

Ya, hari ini sangat cerah. Secerah hatiku dengan hadirnya dirimu. Sementara dirimu sibuk mengabadikan tempat kesukaanmu itu, aku tak lelah memandangmu mengabadikan waktu kebersamaan ini.

“Hei, kamu lihat apa?” kau rupanya menyadari bahwa aku memandangimu. Wajahmu memerah. Kau mendekatiku sembari menarik lenganku.

“Sini. Di sampingku. Temani aku memotret.”

“Gak ah, aku di motor aja.”

“Ayoo, ikut,” Perlahan aku pun luluh akan ajakanmu.

Kau mengajakku duduk di rerumputan tepi jalan, permadani yang dihampar oleh pejuang bangsa yang bernama petani pun terlihat sangat indah dengan hijaunya hingga mencapai pegunungan di ujung pandangan kita. Udara sangat sejuk, sesekali angin pun tak segan-segan mempermainkan helai rambut kita dengan lembut. Semuanya terasa sempurna. Hanya kau dan aku.

“Indah banget ya tempat ini,” kau menoleh sembari tersenyum. Kameramu pun menggantung di lehermu, terabaikan.

“Udah, terusin motretnya. Gak usah lebay gitu,” gurauku.

“Hmmm, gitu ya… Perasaan tadi kayak ada yang nggombal melulu dan lebay gitu omongannya,” cubitanmu pun lagi-lagi mendarat empuk di pinggangku. “Sekarang malah nuduh orang lain lebay.”

“Oh, jangan-jangan kamu cemburu ya sama kamera ini?!” wajahmu berbinar. Perasaanku pun mulai tidak enak. Aku kenal ekspresi itu. Ekspresi jail khas dirimu. “Atau, kamu pengen aku potret ya?!”

Wajahku pun mulai memucat. Ah, masih saja kau ingat kalau diriku itu paling tidak suka berhadapan dengan kamera. Aku pun sigap melepaskan peganganmu di lenganku. Aku berlari. Kau mengejarku sambil tertawa puas. Dan akhirnya aku pun membungkuk menyerah pada nafasku yang terengah-engah. Kau pun juga, tapi masih dengan senyum jailmu. Saat aku mendongak, tak sengaja pandangan tersedot pada sekumpulan burung putih terbang dengan indah merenda langit.

“Bangau!!!” teriakku sambil menunjuk ke arah kawanan burung tersebut.

“Mana??!!” pekikmu gembira.

Pandanganmu pun terhenti tepat di arah aku menunjuk. Kau gembira seperti peziarah, yang tersesat dan kehausan, di gurun pasir yang bertemu dengan oase.

Bangau. Aku tersenyum. Ingatanku pun terlontar pada masa silam saat kau selalu antusias bercerita tentang bangau. Burung yang paling setia, katamu. Sekali bangau memilih, maka itu akan menjadi pilihannya seumur hidup, karena bangau hanya mengenal monogami, imbuhmu. Dan kau juga menegaskan bahwa sejauh apapun bangau jantan pergi, dia pasti kembali pulang untuk keluarganya. Tak lupa, di akhir ceritamu, kau mengatakan ingin lelakimu nanti setia dan memiliki cinta seperti bangau jantan. Ah, impian yang cukup manis. Bangau.

“Mereka rukun banget ya.”

“Iya,” aku pun terbangun dari lamunanku. Bangau-bangau itupun menjauh semakin mengecil dari pandangan.

“Eh, ayo kita lanjutin perjalanan. Udah mulai sore nih,” pintaku ketika tersadar mentari sudah mulai condong ke ufuk barat. 

“Oke bos,” kau memberi hormat bergaya seperti seorang serdadu pada atasan. Aku pun tergelak karena tingkah-polahmu. Sekali lagi, setelah berkali-kali, kau menaklukkanku. Motorku pun meringkik semangat melanjutkan perjalanan. Aroma laut pun mulai tercium.    

***

Hari belum terlalu sempurna untuk dikatakan cukup sore. Matahari masih menggantung mempertahankan diri agar tidak tergelincir ke ufuk barat. Saat itu pula pantai menyambut kita dengan angin sepoi-sepoi yang memanjakan. Pantai ini cukup elok dan terjaga. Pantai yang berada diantara dua tebing ini semakin memukau dengan pohon-pohon rindang, perahu-perahu nelayan, monyet-monyet liar yang berloncatan di ranting pepohonan dan pasir putih. Ya, pasir putih yang selalu membuat terlena. Dimana ada pasir putih, di situ pula akan banyak wisatawan. Yang berarti akan banyak pula sampah yang akan ditinggalkan. Terkadang, ketika diriku butuh sendiri dan merenung di pantai ini, aku berdoa semoga pantai ini tidaklah terlalu memiliki banyak pengunjung. Namun, semua itu hanya sebuah keinginan yang sedikit terkesan egois, mengingat diriku pun hanya seorang pengunjung. Hanya kesadaran untuk menjaga lingkungan, dan membunuh keserakahan tentunya, mungkin yang menjadi solusi tepat demi kelestarian anugrah Tuhan yang melimpah di negeri ini.  

Aku menemanimu menelusuri bibir pantai yang pucat ini. Kau tak mampu menyembunyikan rasa kagummu pada pantai ini. Pujian demi pujian terlontar deras dari mungil bibirmu sembari kau menjerat gambar demi gambar dengan kameramu. Kau biarkan riak ombak mencumbu kakimu yang lincah menyusuri pantai. Langkahmu ringan menabuh air laut berkecipak, seolah kau melayang dan menari riang. Terkadang aku tertinggal langkah dan mematung memandangimu. Namun kau selalu menjangkau tanganku untuk melanjutkan langkah seperti seorang penari balet yang menggapai pasangannya untuk menghadirkan gerakan dalam harmoni.

“Hei, lihat sepasang kekasih itu,” ujarku sambil memberi isyarat pandang padamu.

Terlihat sepasang kekasih yang cukup mesra bercakap-cakap di bawah pohon waru yang cukup rindang yang tak jauh dari pinggir pantai. Bias kebahagian mereka benar-benar terpancar.

“Ya? kenapa memangnya?” kau tersenyum bertanya. Tatapan jailmu lahir kembali, “kamu iri ya sama mereka?”

“Nggak lah,” aku tertawa walau dalam hati ingin mengiyakan. “Apa kau tak pernah mendengar mitos tentang pantai ini?”

“Mitos? Mitos apa?” kau mengernyitkan dahi. Tatapanmu tersirat  rasa ingin tau yang berkobar.

“Kita obrolin tentang itu di sana aja yuk. Sambil cari es degan [1]. Aku haus,” jawabku sambil menunjuk salah satu warung di antara warung-warung yang berjajar di bawah naungan pepohonan yang tak jauh dari tepi pantai.
Kau mengiyakan dengan bersemangat sekali. Kau dengan setengah berlari menggenggam tanganku erat. Genggaman yang lebih erat dari sebelumnya. Dan aku tak berhenti tersenyum mengimbangi langkahmu sebisaku.

Warung-warung di pantai ini cukup unik. Hampir di depan setiap warung memiliki amben [2]. Suasananya pun semakin nyaman karena setiap amben-amben tersebut langsung beratapkan teduhnya pepohonan. Kera-kera yang sesekali lewat pun menjadi daya tarik tersendiri. Warung-warung ini rata-rata adalah milik para nelayan. Mungkin dengan membuka warung, para nelayan bisa mendapat penghasilan tambahan sekaligus berkah tersendiri ketika musim liburan tiba atau hari-hari istimewa seperti petik laut [3], acara tahunan yang kerap mengundang banyak wisatawan. Warung juga bisa menjadi penyelamat ketika laut sedang murung tak memberi nelayan hasil tangkapan. Ya, laut memang menjadi sandaran hidup mereka mengingat pemerintah negeri ini yang tak pernah bisa untuk dijadikan sandaran.    

***

“Sekarang, ceritakan padaku tentang mitos itu,” Kau duduk manis di atas amben tak sabar menungguku bercerita.

Aku pun mulai bercerita bahwa pantai ini memiliki mitos yang cukup mengerikan bagi sepasang kekasih. Mitos yang sudah turun-temurun menyambung dari lidah ke lidah itu menggaungkan bahwa sepasang kekasih yang belum terikat pernikahan, akan terpisahkan jika datang ke pantai ini. Kau pun tertawa. Hanya mitos katamu. Kuceritakan pula tentang seorang tetanggaku yang pernikahannya gagal gara-gara mengajak tunangannya ke pantai ini. Kau tersenyum dan mengatakan bahwa itu hanya kebetulan. Dalam hati, aku pun sebenarnya tidak pernah percaya dengan mitos itu. Namun, ini  semua menyangkut tentang dirimu. Kau yang berada di pantai ini, bersamaku. Rasa takut pun mulai menjalariku. Rasa takut kehilangan. Rasa takut kau berubah menjadi kenangan. Aku pun dengan susah payah mulai  mengubah topik pembicaraan. Tentang pengalaman kuliahmu, tentang Inggris, tentang perbandingan budaya. Kedatangan pemilik warung yang mengantarkan pesanan cukup berhasil membantuku melenyapkan obrolan tentang mitos itu.

Aku berhasil membuatmu mengambil alih kemudi sebagai pencerita. Kau bercerita betapa Indonesia jauh lebih indah daripada Inggris. Indonesia mempunyai keindahan alam yang lebih alami, sedangkan kelebihan Inggris hanya lebih tertata dan terjaga. Tak lupa kau sesekali mengutuk betapa banyak keindahan negeri ini, serta kekayaannya, yang rusak hanya karena keserakahan sekelompok orang tak bertanggung jawab. Aku lebih banyak diam dan memandangimu takjub, sesekali aku menanggapi. Obrolan kita pun mengalir dan merembes ke segala hal. Tentang transportasi, ekonomi, hingga tentang sahabat-sahabat lama. Tanpa terasa detik pun telah berlari berputar ribuan kali, terlalu cepat menurutku. Mentari pun mulai kelelahan berpijar, redup.

Kau kembali mengajakku ke tepi pantai. Temaramnya hari memaksa kita duduk di tepi pantai dengan terbungkam senyap, senja telah merampas waktu kita. Kemudian kau memandangku lembut, sesekali kulihat mendung di sorot matamu. Mendung yang tak pernah kutau penyebabnya. Mungkin tentang waktu. Suara ombak yang menjadi liar isyaratkan rembulan penuh, desau angin yang pilu, seolah menambah resah yang merayapi sekujur perasaanku.

“kau masih menyayangiku?” tiba-tiba tanyamu lirih.

“Selalu,” jawabku yang tersentak oleh pertanyaanmu.

Kau tak pernah membahas tentang itu. Begitu juga diriku. Namun kau dan aku sama-sama mengerti tentang rasa yang lama terpaut merindu. Kau yang memeram rasa dalam buku-buku bacaanmu, aku pada tulisan-tulisanku. Kau yang suguhkan penawar dengan senyummu, aku dengan pandanganku. Tak jarang pula kau dan aku berebut maaf setelah urat leher yang lelah bersitegang.

“Kau mau memaafkan semua kesalahanku?”

“Tak ada yang perlu dimaafkan. Kau tak kan pernah bisa menyakitiku.”

Tiba-tiba kau memelukku erat. Erat sekali. lidahku kelu. Rasa pahit menggerayangi mulutku dan merembet ke dadaku, sesak. Ada apa ini. Perasaan yang sama saat aku kehilangan kakakku dua tahun yang lalu. Penyakit kakakku yang telah merebut peluknya dariku selamanya. Jangan, jangan lagi, teriakku dalam hati.

“Kamu kenapa?” bisikku lemah.

“Aku baik-baik saja,” jawabmu lirih, kau lepaskan pelukmu perlahan. Sorot matamu sayu. Kau tersenyum melempar paksa gelisahmu, namun udara berbisik bahwa ada sesuatu yang kau sembunyikan. “ayo kita pulang, sudah sore... Antarkan aku ke kosan temanku, aku menginap di sana. Aku juga belum beli tiket kereta.”

Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Mulutku terkunci rapat oleh waktu yang semakin tak bersahabat.
Senja hari benar-benar menjelma. Sang surya yang kelelahan mulai menyusup beringsut di pelukan selimut malam. Dengan hati yang masai, kita merelakan jejak kita di pasir pantai dikikis ombak. Dalam perjalanan pulang, kita hanya diam.

***

Purnama, yang selalu menggoda laut hingga menggeliat ingin memeluknya, Aku memandanginya lewat jendela. Kau selalu suka purnama. Tak jarang kau menghubungiku hanya untuk berbagi tentang indahnya purnama. Terkadang aku tersenyum mengingat saat kau dan aku bersama menyaksikan purnama. Juga bertukar imaji tentang bentuk awan-awan yang menyerupai sesuatu di saat purnama menerangi langit. Ah, indahnya kenangan.
Malam itu aku hanya memandangi langit. Susah rasanya memejamkan mata. Gelisah masih mendekap semenjak kau lepaskan pelukmu. Pikiranku pun tak lelah, masih mereka-reka apa yang terjadi pada dirimu. Hingga akhirnya kuambil pena dan buku untuk menulis apapun yang bisa kutulis. Kata demi kata mengalir hingga akhirnya meluap menindihku, aku terpejam. Lelah.

***

Alarm handphoneku meraung mengorek telingaku dengan kasar. Aku terkejut dan langsung melongok pada jam dinding yang menungguiku semalaman. Aku belum terlambat. Secepatnya aku mandi, dan bersiap menuju ke rumah kos temanmu. Sesuai janjiku, aku mengantarmu ke stasiun sesuai jadwal kereta pagi. Dan melihatmu menjauh untuk kembali ke kotamu, hal yang tak pernah kusukai. Aku bergegas melibas embun pagi, menjemputmu dengan perasaan bercampur-baur; senang bertemu denganmu kembali, dan sedih harus mengatakan “sampai jumpa”.

Kau rupanya sudah menunggu di beranda. Dengan sweater berwarna biru, kau tersenyum menyambutku. Namun aku melihat keanehan di kelopak bagian bawah matamu, sedikit bengkak. Waktu lagi-lagi tak mengijinkanku bertanya, kami harus bergegas menuju ke stasiun. Ah, terkadang aku benci kepada sang waktu yang sering terburu-buru.

Sepanjang perjalanan kau memelukku dalam diam. Aku pun tak mampu berkata-kata mengingat perpisahan yang sedang mengintai. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu. Baju bagian atas punggungku terasa basah. Ya, basah! Kau menangis! Kau sedang menangis. Galau menyergapku. Sesak bergulung-gulung memenuhi rongga dada. Semakin kucepatkan laju motorku.

Stasiun sudah dipenuhi calon penumpang yang berjejer antri di loket karcis. Kita sudah masuk dan duduk di bangku peron, menunggu kereta, yang konon sering terlambat. Entah kenapa, terkadang aku merasa masinis juga tidak suka dengan yang namanya perpisahan. Walaupun hanya sebatas menyaksikan. Mungkin karena itulah kereta terlambat, memberi waktu untuk berbesar hati bagi orang-orang yang hendak berpisah.

Kau masih bergeming. Meski aku sudah bertanya berkali-kali ihwal apa yang membuatmu menangis. Hanya kata “maaf” yang menjadi satu-satunya kata yang terlontar darimu. Hingga aku pun menyerah. Ingin rasanya berteriak tapi mulutku terkunci. Tak luput pula ingin bersumpah-serapah pada orang yang bilang bahwa lidah itu tak bertulang. Salah! Kali ini lidahku bertulang. Kaku, kelu, ngilu. Kemudian kau bersandar di pundakku, mendekap rapat lenganku.

“Tuhan itu maha adil… karena itulah Dia ciptakan rasa sedih dan bahagia, dua hal yang selalu saling merindukan.” Ucapmu lirih.

Suara sirine memekik, isyaratkan akan datangnya kereta yang kau tunggu. Kau membuka tas punggungmu dan memberikanku sesuatu dibungkus rapi dengan kertas kado. Tipis dan ringan. Seperti sebuah surat. Selepas itu kau memelukku dengan tersedu, aku pun merapatkan pelukku dengan berbisik menenangkanmu dengan hati tak tenang.

“Kau pulanglah sekarang. Jangan tunggu kereta berangkat...,” bisikmu dengan berat hati.

“Tapi..., aku ingin melihatmu...,”  tanggapku bingung.

“Aku mohon pulanglah. Biarkanlah aku yang melihatmu pergi,” engkau menyela.

“Baiklah...,” aku menyerah tanpa daya.

Begitu berat hati kita melepaskan tangan yang saling menggenggam. Namun, seperti daun dan ranting, akhirnya harus terlepas jua. Aku pulang dengan hati yang lebam, kau pulang dengan hati yang temaram.

***

Kutimang-timang bingkisan tipis darimu dengan hati kacau. Kukunci rapat-rapat kamarku, dan kulemparkan tubuhku di atas kasur. Sembari mengumpulkan keberanian untuk membukanya, kupandangi kertas pembungkus berwarna biru langit dan bermotif bangau itu. Ah, lagi-lagi biru muda dan bangau. Sesekali bayanganmu muncul; saat kau tersenyum, tertawa, tertutup mendung dan warna-warni tentang dirimu, aku seolah menonton layar bioskop mini. Ah, tetap saja kau menawan walau hanya di layar bioskop mini ini.

Setelah cukup lama memandang dan keberanianku sudah terbit, aku putuskan untuk membuka bingkisan tersebut. Tanganku bergetar. Kutarik nafasku dalam dan membuka perlahan. Sesekali kupejamkan mata untuk mengusir gelisah. Namun, suara robekan kertas semakin membengkakkan rasa gelisah. Bagian sudut bingkisan yang sudah terkelupas menunjukkan warna kilau plastik transparan melindungi kertas yang berwarna biru pula di dalamnya. Surat kah? Tanyaku dalam hati. Rasa penasaran pun sedikit demi sedikit mengalahkan rasa takutku. Dengan semakin antusias, kurobek dengan cekatan hingga sudut yang lain. Kutarik kertas berbungkus platik tersebut dengan hati-hati, seolah-olah itu adalah sebuah manuskrip rahasia yang sangat penting. Tiba-tiba gempa berkekuatan dahsyat sedang mengoncang badanku. Godam menghantam keras dadaku. Leherku tercekik dan nafasku tersendat. Wajahku mengapas. Dengan mendongak, kuhirup nafas dalam-dalam sebisaku. Menahan genangan air mata yang hampir tak terbendung. Bentuk kertas itu sangat familiar untuk kukenali. Kertas itu tak lain dan tak bukan adalah surat undangan. Surat Undangan Pernikahan lebih tepatnya. Aku tak percaya. Tak bisa percaya.

“Aku orang terkuat di dunia, terkuat… Semuanya akan baik-baik saja,” aku terus bergumam kata-kata tersebut berkali-kali dan menetes ke hati menjadi dzikir. Terus menerus.

Dengan menguatkan diri, kubuka plastik pengamannya. Kemudian kubuka pelan pelan surat undangan itu dengan tangan yang masih menggempa. Ternyata terselip sebuah kertas catatan kecil di tengahnya. Ada pesan yang tertulis dengan tulisan tangan. Ya, itu tulisan tanganmu. Aku masih kenal betul tiap goresnya. Di kertas itu tertulis:

“Mungkin saat ini tak ada hal yang kuharapkan selain maafmu beserta kehadiranmu dengan setangkup do’a…
Aku akan benar-benar menanti kehadiranmu di hari itu, aku mohon hadir ya…
Terima kasih atas segalanya dan maafkan aku…”

Rasa tidak percayaku semakin runtuh seiring kertas itu runtuh mengecup lantai. Terlebih ketika aku mencoba untuk menyakinkan dengan membaca nama yang tercetak di surat undanganmu. Di sana terpahat jelas namamu, dan bangau yang kau pilih. Dan tumbanglah surat undangan itu dari tanganku mengejar catatan yang gugur lebih dahulu, seperti runtuhnya perasaanku terperenyak koyak.

Aku bergumam kembali kata-kata yang tadi sempat tergerus kesenyapan dalam ketidak-percayaanku. Terus bergumam tanpa henti. Tiba-tiba cerahnya sinar pagi yang tadinya menyusup mesra lewat kaca jendela menghilang. Semua berubah menjadi gelap seketika. Dan langit-langit kamarku juga menghilang. Dalam tidak percaya aku melihat purnama menggantung di atas kamarku. Tak ketinggalan awan-awan menggumpal di sekitarnya. Dingin…, aku merasa dingin. Tubuhku menggigil. Kupeluk erat lututku dan meringkuk. Kemudian terasa kapas dingin  menyapa kulitku. Dalam gigil aku terkesiap. Salju. Salju turun di kamarku. Dalam bingungku yang beku, kupandangi sekeliling. Dinding kamarku pun ikut lenyap. Hanya hamparan putih putih tak berujung mengelilingiku. Kini, yang tersisa hanya aku, purnama, awan-awan menggumpal, dan salju.

Aku semakin menjadi berdzikir kata-kata penenangku dalam gigil. Perlahan tubuhku menghangat. Salju yang menyelimuti tubuhku mencair. Berganti benda putih kecil dan halus keluar dari pori-poriku. Benda kecil itu perlahan semakin tumbuh membesar dan merapat satu sama lain. Bulu, tumbuh menutupi tubuhku. Kedua tanganku pun telah berubah menjadi sepasang sayap. Kakiku menjadi tungkai kurus. Kusadari aku telah menjelma menjadi bangau.

Kukepakkan sayapku dan mencoba terbang setinggi-tingginya. Seperti tak bersahabat, guyuran salju semakin mengganas dan menjadi badai. Rembulan pun terlihat remang-remang.  Aku tak boleh menyerah dan terus terbang setinggi-tingginya. Setidaknya, dari ketinggian aku bisa melihat arah untuk pulang.  Dan akhirnya aku berhasil menyapa telapak awan. Kucoba menembusnya. Di sela-sela awan yang sibuk menenun salju, kukepakkan sayapku dengan kekuatan yang tersisa. Namun, tiba-tiba angin menghempaskanku kejam. Tubuhku oleng. Aku jatuh menukik. Bersama guyuran salju aku terhempas berdebum. Aku mati rasa. Nafasku tersengal-sengal dengan tubuhku yang remuk redam. Pandanganku berdenyar dan semakin memudar. Guyuran salju dengan trengginas menimpaku. Sesekali kucoba untuk menggerakkan kedua sayapku, namun aku tak mampu. Seluruh tubuhku mati rasa. Dan guyuran salju tak letih menguburku, perlahan tapi pasti.   

Jember, 9 Februari 2012.        

Catatan:
[1] degan : kelapa muda (jawa)
[2] amben : balai-balai, tempat duduk atau tempat tidur yang cukup lebar yang biasanya terbuat dari bambu atau kayu (jawa)
[3] petik laut : upacara adat yang dilakukan para nelayan sebagai rasa ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memohon keselamatan. biasanya diadakan pada bulan muharram atau bulan suro.


Jumat, 03 Februari 2012

Rhein dan Bangau

jika kau menginginkan dirimu menjadi pesakitan,
apa dayaku.
sekat itu terlalu tinggi untuk kulampaui
meskipun aku akan tetap terjaga menjaga nyalamu,
gelisahku meruah tanpa daya membanjiri malam
#
O, lembaran masa yang mulai keriput
seandainya Rhein pun mulai mengering
ijinkan aku mengalirkan rasa,
hingga habis tersesap lelah tak tersisa 
#
tahukah kau warna perih?
                ...........
     lihatlah di bawah lipatan sayapku
     retakan di sorot mataku
     bebatuan di tarikan nafasku
                ...........
ah, tak seberapa.
#
kini, peluklah
     wangi tanah saat hujan memudar
     irama sejuk menyisip gerah
     ranumnya rembulan yang kasmaran
dan buanglah masai harimu
#
mungkin nanti,
     saat aksara mulai jengah melekat
     saat tubuh mulai bergetar menggempa
     saat pandang mulai berdenyar merabun
kau merindukan pagi, bersama sang bangau

174 km dari kotamu, 4 februari, 2012

Minggu, 25 September 2011

Tak Sepatutnya Aku Menulis Puisi

tak sepatutnya aku menulis puisi
            dengan ujung lidahku yang kelu
            tak sepatah kata pun terlontar
            buram tak terbaca
tak sepatutnya aku menulis puisi
            dengan kebisuanku tak bernada
            tak seelok kalian bagai burung merak
            di atas panggung kibaskan pesona
tak sepatutnya aku menulis puisi
            ah, mungkin aku patut
            puisi bukanlah sekedar pertunjukan
            tapi puisi adalah cermin jiwa 
bacalah,
            bacalah,
                        resapilah...
meskipun tak bersuara...

Jember,25 September 2011