Sabtu, 30 Juli 2011

Kau, Di Antara Hangat dan Beku

Aku ingin mengajakmu jalan-jalan
Di pematang sawah yang berhias belukar putri malu yang mengincup, malu.
Aku ingin mengajakmu menyalami sang angin
Kugulung benang di perut kaleng susu bekas dan kau terbangkan liar layang-layang, genit.
Aku ingin mengajakmu menyelam
Di bening sungai yang mengalirkan kehidupan hingga ke petak-petak bakal padi meruah.
Aku ingin mengajakmu memeluk riuh hutan
Dengan tanganmu yang lentik menanam bakal peniup udara yang tak cukup se-pelukan.

Lalu kuajak kau memejamkan mata di dalam keseimbangan
Terbang di langit yang memamerkan punggungnya berwarna-warni  
Di sela awan-awan yang putih, yang terkadang kelabu
Melewati laut merah, gurun-gurun yang membiru, pegunungan yang melingkar hijau.
Di antara burung-burung bergandengan ke selatan,
Dan juga Monarch berkepak di dalam ketidak-mungkinan, bersemangat mencari kehangatan.
Kita menyaput pelangi hingga ke ujungnya yang transparan, dan berlarian menebar hujan.

Namun, tanganmu kini tercerai dari genggaman
Kau sedingin selat bering, beku.
Kau di antara gedung-gedung menjulang bersudut tajam, angkuh.
Di antara gigil mesin-mesin berderu lantang
Asap-asap yang dimuntahkan dari kereta-kereta besi mengkilap
Kau kaku
Sekaku robot-robot yang diprogram begitu-melulu melulu-begitu
Kau senyap
Sebisu sungai yang terjerembab ke bumi di penjara pipa beton raksasa
Kau dingin, kau beku, kau kaku, kau senyap
Ah, kau…
Yang kini dalam anganku, di antara hangat dan beku.

Jember, 31 Juli 2011


Senin, 18 Juli 2011

Menuntut Keadilan

Duduk bersila di beranda dengan sebatang dupa
Asapnya lurus dijumput angkasa
Selurus hatinya merapal mantra
Membelah langit, menuntut keadilan

Mengendap-endap di remangnya malam
Bertopeng hitam golok digenggam
Mencium wangi nasi matang di angan-angan
Mencongkel jendela, menuntut keadilan

Kartu-kartu tertata rapi di tangan
Tajamkan pikiran baca peluang
Keringat seharian menjadi taruhan
Membanting kartu, menuntut keadilan

Gincu dipoles rapi merengkuh bibir
Tak lupa wewangian cumbui hasrat
Demi buah hati yang diintai kelaparan
Melenguh di keheningan, menuntut keadilan

Nyawa bagai titik debu melayang
Di atas murka gelombang laut yang mengintai nyalang
Tak kan lemparkan sauh sampai nafkah di genggaman
Menantang ombak, menuntut keadilan

Berbisik merayu manisnya jabatan
Sodorkan pena untuk indahnya tanda tangan
Tutup telinga akan tangisan mereka yang terusir
Sebidang tanah pun lengang, menuntut keadilan ?

Kobar berkobar si merah melalap memanggang
Isak pun pecah akan mata pencaharian yang hilang
Terkekeh sesosok bayangan di kejauhan
“Perbelanjaan masa depan,” selorohnya. menuntut keadilan ??

Berjabat tangan di balik meja dalam senyuman
Selipkan kertas bernilai jutaan bahkan milyaran
Ditanam di saku yang paling dalam
Atas nama rakyat ucapnya di lisan, menuntut keadilan ???

Bla bla bla bla, menuntut keadilan ????
Blabla blabla blabla, menuntut keadilan ?????
Negeri ini terlalu banyak bersematkan tanda-tanya,
Di balik kata, “menuntut keadilan!”

Ah, mungkin terlalu banyak pula
Yang tertidur saat dibacakan sila kelima
P-A-N-C-A-S-I-L-A
Semoga aku tidak ikut menjadi lupa,
Atau seolah lupa (psssttt, jangan bilang siapa-siapa)

Jember, 19 Juli 2011

Note: Sedikit pernak-pernik realita tentang negeri ini yang tidak bisa kita pungkiri kawan... 





Sabtu, 16 Juli 2011

Petani dan Monopoli

Gemah ripah loh jinawi…

Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di benak saya sejak kecil, di bangku sekolah dasar lebih tepatnya. Kata yang berarti “subur makmur” tersebut seolah menjadi sebuah dongeng indah tentang makmurnya negeri ini. Tanpa sadar, kata-kata itu telah menjadi pembakar semangat sekaligus memberi rasa tenang bagi anak seusia saya kala itu. Cita-cita demi cita-cita terlontar dari mulut kawan-kawan saya sembari menyajikan lukisan masa depan di sorot matanya. Insinyur, pilot, dokter, penjelajah dunia, bahkan yang bercita-cita menjadi presiden pun ada. Kami yang masih belia, tak pernah mengerti apa arti kondisi ekonomi keluarga.    Tak paham bahwa kata-kata itu bisa menjadi boomerang yang menusuk ulu hati ketika melihat realita di saat kami dewasa. Yang kami tahu hanyalah: negeri kami kaya!

Mungkin kala itu memang kami dimanjakan oleh alam. Kenapa bisa begitu? Ya, kami sangat akrab dengan alam. Walaupun uang jajan kami tak sampai seperdelapan uang jajan anak SD jaman sekarang, alam seolah menjadi ibu yang selalu menyuapi anaknya. Pohon jambu, kenitu, rambutan, kesambi, salam, asam dan berbagai buah lainnya, tumbuh berserakan di pinggir jalan yang bisa kami ambil buahnya sesuka hati. Jangan heran jika semasa saya masih SD banyak anak berseragam putih merah berada di atas batang-batang pohon itu.  Kami juga tak perlu mengeluarkan uang untuk membeli mainan. Karena kami memiliki permainan, yang sekarang disebut permainan tradisional, yang mungkin tak cukup untuk dimainkan semuanya di kala istirahat sekolah. Tak jarang pula kami membuat mainan sendiri dari batang kayu, pelepah pisang, atau apapun juga sesuai keinginan kami. Kami anak petani yang tak pernah takut untuk bermimpi!

Waktu pun berderap kencang terlecut detik yang terkesan terburu-buru. Tibalah masa remaja, masa ketika darah bisa mendidih sewaktu-waktu. Masa ketika mulai banyak tuntutan ini itu memberondong. Saat itu pula saya dan kawan-kawan sering berbagi cerita, kami mulai mengerti betapa terik cemeti sang surya melecuti punggung orang tua kami. Tak segan-segan kami ikut ke sawah, mencari rumput untuk hewan ternak kami, dan belajar tentang kehidupan. Garis hidup para petani.

Booooom! Seolah bom nuklir jatuh meluluh-lantakkan desa kami. Panen melimpah, ya selalu melimpah. Namun, seiringan pula banjir air mata menggenangi desa kami. Harga hasil panen tak seimbang dengan cucuran keringat, harga seolah menjorok ke perut bumi. Pupuk langka dan harganya pun selangit. Banyak istri menangis ditinggalkan suaminya yang hilang entah kemana. Banyak pula yang menjinjing tas untuk merantau mempertaruhkan jiwa, ke negeri jiran. Banyak anak menangis menahan lapar. Panen demi panen semakin mencekik. Impian demi impian gugur terkubur.

Tembakau, yang juga seringkali disebut “daun emas”, merupakan salah satu tanaman andalan sebagai pemangku mimpi-mimpi kami. Pernah suatu ketika tembakau benar-benar menjadi tambang emas kami. Hidup para petani tercukupi. Anak-anak pun bisa membaca buku yang selama itu hanya bisa dibeli anak kota. Namun, masa itu terhitung hanya 3 musim. Musim-musim selanjutnya adalah pil pahit yang harus kami telan. Dengan harapan menutupi kerugian, daun emas pun terus ditanam. Getir. Itulah kenyataan yang dihadapi para petani. Bukannya menutupi kerugian, yang terjadi adalah seolah mereka menggali lubang yang dalam untuk bunuh diri. Hutang pun tak terbayar. Bunga pun tersenyum manis bagi para rentenir. Dan yang tak disadari, adanya lokomotif besar sedang melaju di garis hidup para petani yang bertuliskan sesuatu di sisi gerbongnya: MONOPOLI.

Monopoli, mengingatkan kami ketika seorang kawan SD, yang merupakan siswa pindahan dari kota, membawa permainan yang tersebut. Kami, yang bahkan tak paham apa arti hipotek, senang-senang saja memainkan permainan sederhana yang menurut kami hanya membeli rumah dan hotel tersebut. Monopoli, Sebuah kata yang menjadi mimpi buruk bagi kami di hari-hari kehancuran itu. Penguasaan para pemodal besar terhadap pasar, benar-benar mencekik kami. Pernah satu kesempatan kami mencoba mengadu ke pemerintah, tak ada yang kami dapat selain janji-janji. Entah ada apa di balik meja kerja.

Kini, lokomotif itu benar-benar menguasai semua jalan hidup para petani. Tak hanya daun emas, bahkan bulir-bulir padi, sayur mayur, palawija pun di kuasai. Hidup dalam kematian, Itulah hidup petani saat ini. Perbudakankah ini?

Hanya beberapa mimpi dari kami yang masih bertahan. Kawan-kawan yang bersumpah akan kembali membawa kekuatan untuk melawan. Tanpa kekuatan sepadan, semuanya akan terlindas oleh lokomotif tersebut. Itulah yang tersisa. Jika tidak terwujud, biarlah kami memakan hasil panen kami sendiri, atau mungkin, biarlah sawah-sawah mengering tanpa tanaman menunggu kepunahan bangsa ini.

Jember, 17 Juli 2011

Jumat, 15 Juli 2011

Balada Daun Emas

Habis sudah keringat ini
Kering retak tubuh berderak
Terik pun tak lagi mengancam, mati rasa…
Saputkan legam tubuh menghitam

Jaya hanya dongeng tak bertepi
Tentang anak yang menggapai bintang
Terperah, terhisap
Mejadi budak yang tak kuasa berkehendak

Tangkai demi tangkai layu
Adapula yang rontok mengering, mumur…
Kami hanya bermimpi tentang daun emas
Namun hanya menelan pil pahit permainan

Tak terhitung berapa bathara berjanji
Tak biarkan keringat kami tumpah
Namun,
Air mata pun mengering

Habis habis, buyar terserak
Kini hanya tinggal tulang berbalut kulit
Dan sedikit nafas tersisa
Habislah kami, mampus

Jember, 16 Juli 2011

Jumat, 08 Juli 2011

Untukmu (Konon Kau Adalah Dewi Hujan)

Untuk puisi ini, ijinkanlah saya sedikit membuka "dapur" kawan :)...
Puisi ini saya ciptakan untuk seorang sahabat sekaligus saudara bagi saya. 
Stanley Reza Andhika, itulah nama indah yang tersemat baginya. Namun, akhir-akhir ini dia lebih suka dipanggil "Jumali". Dia adalah sahabat yang saya kenal sebagai seseorang yang memiliki rasa ingin tahu tinggi dan haus akan ilmu pengetahuan. Bahkan, saya sempat terbelalak melihat rasa hausnya yang seolah akan menenggak samudra ilmu sendirian. Salut Jumali! Tenggaklah semampumu! Semangat! (disamping saya yang selalu hobi mengacaukan kegiatannya, haha... Biasakanlah, be strong brother, hehe...)

Satu hal yang sangat menarik dari si Jumali ini adalah sosok Dewi Hujan. Ya, dia sangat mencintai dan merindukan Dewi Hujan kawan! Semua kisahnya tertutur untuk Dewi Hujan di urutan pertama, dan tentunya untuk kita juga sebagai penikmat sastra. Mungkin warna yang Jumali tawarkan beserta tuturnya yang unik kepada Sang Dewi Hujan akan benar-benar membekas di hati kita kawan, selamanya... Anda penasaran? silahkan anda berkunjung ke blog miliknya di sini.

Nb: Sten, puisi ini secara khusus kupersembahkan untukmu yang setia menunggu Dewi Hujan... dan sedikit bagian untukku tentunya (tenang, kita memiliki Dewi Hujan yang berbeda kok, hehe :p)...



Untukmu (Konon Kau Adalah Dewi Hujan)


gerutu-gerutu itu mulai luntur
menguap? mungkin
lumpur-lumpur membatu, cadas
debu menjadi kabut hari


perlahan daun-daun bercerai-berai
tinggalkan kecupan terakhir untuk sang ranting, meluruh...
sebagian tumbang dalam dahaga
memeluk bumi pertiwi, melebur...


memekik membahana langit
sang elang yang berwajah garang berubah pilu
rindu...
ya, nyanyian rindu yang ngilu...
berputar dan menjelajahi angkasa...
berharap bertemu yang membuat hatinya menderu,
Dewi Hujan...


dan dia pun masih duduk memejamkan matanya, 
di atas kursi goyangnya yang mendayu...
masih menunggu...
rinai yang mendinginkan gerah dunia...
bulir jernih tertapis awan...
konon, terselip di dalamnya jutaan malaikat memainkan harmoni nada...
nada rindu...
nada yang dulu mengiringinya menari bersama
Dewi Hujan...
lebur dan haru...


ah, kenapa aku selalu menjadi pemahat kisahnya?
kini tiba saatnya untukku menari bersamanya...
sang Dewi Hujan...


Jember, 9 Juli 2011





Kamis, 07 Juli 2011

Bila Selaput Biru Sang Langit Berganti

Kali ini ijinkanlah saya berbagi warna dalam puisi sobat... 
Mungkin nanti banyak puisi-puisi saya yang lain akan saya posting menyusul. Sesuai mimpi saya, semoga nanti saya bisa berbagi dalam bentuk antologi ;). Namun, kali ini ijinkanlah saya membaginya dalam sepotong-sepotong mozaik yang saya susun perlahan untuk mewujudkan mimpi tersebut. 
Inilah puisi pembuka mimpi kawan... Selamat membaca!

Bila Selaput Biru Sang Langit Berganti

apa dayaku

saat selaput biru sang langit berganti,
jingga...

mungkin terlalu banyak luka yang membara
terlalu takjub untuk takut
mungkin harus menunggu esok hari
tuk menatapnya dengan lembut birunya

tibalah pekat bersesakan menyeruak
terlalu indah untuk kecewa
saat gumintang menghiasinya
kini tinggal diriku yang masih berharap...

apakah aku bisa melihatnya di esok hari
langit dengan lembut birunya
ah, biarkanlah waktu memelukku...

Jember, 20 mei 2009




Minggu, 03 Juli 2011

Ijinkanlah Aku Berbagi Warnaku Sobat...

"berbagilah... karena dunia juga berhak tau", -Bro Zabriansyah Hakim-
Kata-kata itu benar menghunjam telak di sanubari... haha, mungkin ungkapan saya barusan terlalu lebay alias berlebihan sobat. Namun, mungkin itulah padanan kata-kata yang pas untuk mengungkapkan perasaan saya ketika seorang sahabat sekaligus kakak bagi saya, Bro Hakim, menyarankan saya untuk membuat sebuah blog.

Pada dasarnya, saya suka surfing di internet, atau saya lebih suka menyebutnya "bertamasya", membaca apapun yang menurut saya menarik. blog demi blog, website demi website, dan hingga ke forum-forum besar seperti www.indowebster.com dan www.kaskus.us (dimana saya juga merupakan anggota forum tersebut) saya terlusuri dan selami demi memuaskan nafsu ingin tau dan keinginan membaca yang menggebu-gebu (kenapa terkesan seperti artikel khusus orang dewasa ya :D?). 

Kemudian, terdamparlah saya pada dua blog yang menurut saya sangat luar biasa isinya, acacicu.com dan Foi Fun! . Dua blog tersebut dikelola oleh sahabat saya, acacicu.com dikelola Bro Hakim dan Foi Fun! oleh Aunurrahman Wibisono atau lebih akrabnya dipanggil "Nuran". Pada awalnya saya hanya penasaran untuk mengetahui apa saja yang ditulis mereka.  Ternyata, dari rasa penasaran tersebut saya menjadi ketagihan. Blog-blog tersebut memuat tulisan-tulisan yang seringkali membuat saya terbelalak karena takjub. Saya pun tersenyum ketika saya menyadari bahwa saya kecanduan membaca di blog-blog tersebut. Setidaknya saya telah kecanduan akan hal yang positif. 
Terima kasih sobat :)...


Pada suatu kesempatan, berawal dari sebuah percakapan saya dengan Bro Hakim tentang blogging, terlontarlah sebuah perkataan sakti mandraguna bagai mantra dari Bro Hakim, "berbagilah... karena dunia juga berhak tau"
Kata-kata tersebut benar-benar mendesak saya untuk membuat sebuah blog walau saya tidak tau apa yang akan saya posting. Setelah saya terngiang-ngiang kata-kata tersebut dan berfikir berhari-hari, berujunglah pada sebuah jawaban: yang saya perlukan hanyalah "kemauan untuk memulai" (serta sebuah komputer + koneksi internet tentunya,hehe). dan, taraaaaaaaaaaaaa... lahirlah Blog saya yang bernama "Auroraku Auroramu".


Bismillahirrahmanirrahim...
Inilah postingan pertama saya :). Salam kenal dan damai bagi seluruh blogger dan para-netter se-Indonesia atau bahkan se-dunia... Saya juga memohon doa anda dan arahan dari sesepuh-sesepuh dunia blogging, semoga saya bisa konsisten untuk memposting... mungkin sudah cukup bagi saya untuk ber-acacicu (hoahm, saya yang nulis aja ngantuk apalagi yang baca ya? hehe)... dan di akhir tulisan ini saya ingin mengucapkan:


Ijinkanlah Aku Berbagi Warnaku Sobat...